BENGKULU – Rencana revisi Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP) yang mengusung asas dominius litis mendapat perhatian dari akademisi sekaligus praktisi hukum, Dr. Novran Harisa, S.H., M.Hum., C.M. Menurutnya, jika ketentuan ini tidak dirumuskan dengan cermat dan bijaksana, justru berpotensi menimbulkan kekacauan dalam sistem peradilan pidana di Indonesia.
"Perumusan RUU KUHAP yang baru sebaiknya melibatkan seluruh pemangku kepentingan, seperti akademisi, praktisi hukum, serta tokoh masyarakat. Selain itu, diperlukan kajian mendalam terkait kelemahan KUHAP yang lama, apakah masih relevan atau tidak, sehingga bisa menjadi bahan evaluasi dalam penyusunan undang-undang yang baru, " ungkap Dr. Novran.
Ia menambahkan, revisi ini harus mampu menghasilkan regulasi yang benar-benar menjawab kebutuhan masyarakat dan memperbaiki sistem peradilan pidana, bukan justru menciptakan permasalahan baru dalam praktik penegakan hukum.
Dr. Novran juga mengingatkan soal bahaya jika revisi KUHAP justru memperbesar kewenangan hanya pada salah satu institusi penegak hukum. Menurutnya, hal ini bisa menimbulkan konflik kepentingan serta tumpang tindih kewenangan antara kepolisian, kejaksaan, dan kehakiman.
"Tiga lembaga ini semestinya bekerja secara terkoordinasi dan saling mengawasi demi menciptakan sistem peradilan pidana yang adil dan transparan. Jika kewenangan hanya terpusat pada satu pihak, maka mekanisme check and balance akan terganggu, membuka celah penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power), dan pada akhirnya merusak sistem peradilan itu sendiri, " jelasnya.
Lebih lanjut, ia berharap RUU KUHAP yang tengah disusun ini dapat memberikan solusi konkret yang responsif terhadap kebutuhan masyarakat. Dengan demikian, setiap lembaga penegak hukum dapat menjalankan tugas dan kewenangannya secara proporsional, menjaga keseimbangan, serta menghadirkan keadilan di Indonesia. (MIR)