JAKARTA - Disampaikan dalam acara Webinar Migrasi Siaran TV Digital Menuju Pers Masa Depan, Senin (14/02/2022). Ada 5 hal yang diungkapkan oleh Ilham Bintang, salah seorang Jurnalis senior Indonesia.
1. 10 tahun lalu, saat pemerintah menetapkan migrasi televisi (TV) analog ke digital, smartphone belum lahir. Waktu itu pun kita membayangkan proyek nasional ini, berat. Berat bagi tenaga kreatif dan awak newsroom. Ibarat lompatan jauh dari kultur layar tancap ke kelas bioskop Cineplex 21. Cacat-cacat teknis yang bisa dimaklumi di medium layar tancap akan menjadi masalah besar dan serius di mata sebagian besar masyarakat yang sudah terbiasa menonton di bioskop Cineplex 21, atau mengikuti berita dari siaran TV global yang sudah mudah diakses masa itu. Sound yang cempreng dan gambar yang bintik-bintik akan menjadi kendala besar bagi penonton menyesuaikan diri dengan tontonan sekelas layar tancap.
2. Perkembangan teknologi informasi yang pesat 10 tahun terakhir yang produknya adalah smartphone, mengantarkan masyarakat lebih cepat familiar dengan teknologi digital sebelum pemerintah memutuskan migrasi TV.
Hal ini terjadi saat masyarakat telah menemukan kembali kedaulatan bebas memilih program hiburan maupun berita. Rakyat yang berdaulat lewat jari-jari tangannya cepat menemukan program-program yang dia butuh dan sukai. Dalam konteks program news, mereka mau yang isinya 'daging' semua: Sesuai fakta peristiwa yang disajikan secara akurat, berimbang, dan objektif. Itu substansinya.
Sedangkan saluran digital berubah posisi.
Cuma kemasan, lebih bersifat teknis yang aroma bisnisnya tidak bisa dielakkan. Menurut rekan Apni Jaya Putra, sahabat saya yang pakar televisi, migrasi TV digital bakal menciptakan infrastruktur internet akan semakin baik karena akan ada digital dividen.
Baca juga:
Babinsa Nusa Penida Kawal Penyaluran BLT-DD
|
Katanya, Itu perlu untuk peran serta pers dalam melaksanakan fungsi kontrol sosial.
Kembali ke Netizen. Perkembangan selanjutnya tidak hanya mengonsumsi, warganet pun memproduksi informasi yang melalui risetnya, disukai publik luas. Lalu, media memanfaatkan momentum masyarakat yang mulai membelakangi layar kaca.
Mereka sering menangkap basah ada pemelintiran substansi berita. Wartawan malas atau kurang waktu mengidentifikasi duduk perkara suatu peristiwa sebelum menyiarkan suatu berita. Mereka hanya asyik meliput sumber bicara menghabiskan durasi.
Lewat gadget-nya, warganet 24 jam berselancar di dunia maya. Sekalian meninggalkan kultur menonton televisi, yaitu menonton televisi bersama-sama di satu tempat dan waktu tertentu yang diatur bagian programming. Secara kualitatif terhadap produk pers, tetapi hanya fokus pada substansi.
Selamat tinggal talkshow yang sumbernya itu-itu saja. Yang selalu bertengkar dah bikin gaduh bahkan urusan remeh-temeh. Ada yang menyadari pertengkaran malah menjadi selling point bagi satu media untuk mengejar rating. Maka, yang tampil pun yang kuat bertengkar saja. Kuat mencaci atau saling caci. Ini jelas mengabaikan etika pers karena abai memperhatikan kompetensi sumber berita.
Belakangan berita kriminal perkotaan yang menjadi domain Harian Pos Kota zaman dulu, kini jadi menu tv sehari-hari. Menghabiskan durasi berjam-jam. Kita tahu itu maksudnya membidik segmen penonton masyarakat bawah yang masih setia menonton TV.
Untuk ditonton sekeluarga, berita kriminal seperti itu, disajikan dalam siaran digital pun sulit dipakai untuk mengajak segmentasi masyarakat menengah untuk berpaling.
Artinya, program tv digital tidak terlalu penting.
Yang penting ketika berbicara masa depan pers adalah hasil kerja wartawan yang sepenuhnya mematuhi kode etik jurnalistik. Yaitu berita akurat, objektif berimbang, jujur dan tepercaya. Itu mahkota pers yang masyarakat selalu tagih dari wartawan platform apa pun.
3. Data terakhir, 200 juta orang Indonesia telah terhubung dengan internet ( secara global 4.46 M). Itu mengkonfirmasi telah terjadi disrupsi, goyahnya posisi media televisi. Secara kuantitatif, jumlah pengguna internet di Tanah Air saja lebih banyak dari pemilih Pemilu 2019. Atau lebih kurang 80 persen penduduk Indonesia.
Jauh di atas 60 juta pemirsa yang diperebutkan media-media televisi konvensional. Lokal maupun Nasional. Fenomena di media sosial semakin menggairahkan setelah melahirkan miliuner-miliuner, seperti Deddy Corbuzier, Raffi Ahmad, Atta Halilintar, Ria Richis, dan Baim Wong yang jika diakumulasi total subscriber mereka hampir 100 juta pengguna internet.
Melebihi akumulasi jumlah gabungan penonton seluruh stasiun televisi dan pembaca media cetak maupun online. Meskipun perolehan kue iklan mencapai Rp 168 triliun masih didominasi televisi, fenomena media sosial itu jelas merupakan ancaman serius yang menuntut perubahan mendasar insan pers dan televisi.
Baca juga:
Kodim Klungkung Kawal Perayaan Galungan
|
Saya sudah berkali kali dalam tulisan mengingatkan kawan wartawan segera berubah, berbenah, dan mengkaji ulang politik pemberitaanya. Wartawan seharusnya gencar berinovasi, kalau tak mau tinggal nama.
4. Fenomena medsos telah menjadi isu nasional dunia pers Indonesia hari-hari ini. Sudah tiga kali momen Hari Pers Nasional membahas itu secara serius. Informasi produk netizen yang mendominasi ruang publik, menjadi sumber ancaman bagi keberlangsungan pers dan industrinya.
Juga dianggap mengganggu kelangsungan penyelenggaraan negara. Pada Hari Pers Nasional 2022 7-9 Februari di Kendari, pemerintah dan pers, resmi berkolaborasi kembali setelah reformasi. Pertemuan antara media pers yang tergerus audiensi pembaca atau pendengarnya, dengan pemerintah yang merasa kewibawaannya dirongrong warganet, seperti pertemuan mangkok dan tutupnya yang lama terpisah.
Tapi kolaborasi itu berpotensi mengabaikan pagar api yang mutlak ditegakkan institusi pers. Seakan lupa sumber hukum wartawan adalah UU Pers 40/1999 yang sejak reformasi telah menutup akses campur tangan dari pihak pemerintah.
Tidak ada makan siang gratis. Sebagian wartawan masih trauma praktik penguasa di masa Orde Lama dan Orde Baru. Pengalaman puluhan tahun dikooptasi penguasa masih membekas. Media sosial memang bukan tanpa cela.
Banyak produk mereka yang berbahaya. Masih banyak netizen yang tidak memahami etika berkomunikasi di ruang publik. Masih banyak informasi didasari kebencian. Paling ngeri kalau netizen bekerja mendapatkan nafkah dari konten yang memecah belah bangsa.
Saya hanya hormat pada warga net yang murni melakukan kontrol dengan cara militan dan jujur.
Saya membayangkan itu akan menjadi kekuatan pers alternatif di masa depan. Sekarang memang masih bergerilya di bawah tanah, menerima risiko sumpah serapah, padahal keberadaan mereka diakomodasi dalam UU Pers. Buka Pasal 17 yang mengatur Peran Serta Masyarakat.
Netizen itu punya jaringan luas untuk membuat semua dinding punya mata dan telinga. Itu yang paling berharga di alam demokrasi, meski itulah yang sering dinilai oleh penguasa sebagai merongrong kewibawaan pemerintah. Memang celaka jika warga net memergoki pemimpin yang tidak satu kata dengan perbuatan.
5. Fakta-fakta empiris itu menurut saya menjadi salah satu alasan masyarakat berpaling dari media mainstream ke produk netizen di media sosial. Skandal penyalahgunaan kekuasaan, perampokan uang negara, praktik mafia hukum, yang relatif sensitif dan sering tidak disentuh oleh media mainstream, diangkat oleh netizen.
Pers media mainstream baru menyusul meramaikan setelah isu menjadi trending topic. Kasus mutakhir peristiwa Wadas. Setengah mati pemerintah melalui sebagian pers menyangkal tragedi kemanusiaan itu. Percuma. Fakta peristiwa secara telanjang membuktikan seperti itu.
Melalui media sosial video aksi kekerasan aparat di Wadas menjadi konsumsi publik. Percuma polisi membantah. Secara audio visual memang polisi yang menangkap warga yang tanahnya mau diambil paksa. Terbukti, besoknya dilepas sendiri setelah pelbagai elemen masyarakat memprotes keras.
Sebagai gongnya: Permintaan maaf berulang-ulang Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo. Kabar terbaru kini ada kegiatan bakti sosial bagi-bagi sembako untuk penduduk di desa itu.
Untung Ganjar Pranowo pemain medsos, sehingga tahu karakter warga net. Apalagi sebagai kandidat Presiden 2024. Ganjar tahu persis tabu jika pemimpin tertangkap tangan netizen berbohong.
Lima point di atas saya kira cukup menjelaskan mengapa program migrasi tv dari analog ke digital sekarang tidak akan menjadi isu seksi bagi masyarakat. Kalau boleh saya mengatakan, tidak punya korelasi kuat dengan produk jurnalistik. Pers Nasional masih punya masa depan jika segera berubah, segera menyesuaikan diri dengan kaidah - kaidah baru media digital. Mayoritas warga Net sudah lama beradaptasi dengan kehidupan digital dan global.
Ingat 200 juta pengguna internet, sebanyak itu sudah menikmati pergaulan secara global. Menonton dan menyimak sebuah peristiwa secara real time dari dari tempat kejadian perkara sebelum disiarkan oleh media mainstream. Jangan pernah mengulang reportase liputan live " teroris" di Mabes Polri tempo hari. Narasi yang dramatis dan menggebu-gebu hanya jadi cemooh dan cibiran pemirsa.
Narasi melaporkan peristiwa penyerbuan teroris di markas polisi, tapi gambarnya tidak mendukung itu. Yang tampak hanya ada satu perempuan di sana dalam posisi tidak berbahaya seperti disebut dalam narasi wartawan. Kita yang mengikuti reportase peristiwa itu secara live, merasa wartawan melecehkan nalar publik.
Padahal, reportase itu diambil dari kamera petugas humas Mabes Polri yang di-relay oleh TVNews. Dan, petugas menembak tewas terduga pelaku yang posisinya tidak membahayakan aparat. Peristiwa membuat Kapolri malu. Sejak hari itu ia melarang anak buahnya menyiarkan secara live operasi penangkapan.
Peristiwa-peristiwa besar yang disiarkan media mainstream selalu memicu kecurigaan berbau "intervensi" terselubung otoritas di news room. Logikanya sederhana, 90 persen pemilik media di Tanah Air adalah politisi atau pengusaha yang menjadi bagian dari oligarki dalam pemerintahan yang sudah "bersepupu" dengan penguasa. Pers mainstream rasanya sulit di masa depan jika masih bekerja dengan prinsip seperti itu. Walaupun dengan saluran super digital.
Jakarta, 14 Februari 2022
Ilham Bintang
Jurnalis Senior, dan Pengamat Media