BANJARMASIN - Revisi Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RKUHAP) menjadi perhatian utama dalam upaya reformasi hukum pidana di Indonesia. Pembaruan ini tidak hanya bertujuan untuk menyelaraskan aturan dengan KUHP yang baru, tetapi juga untuk memperkuat prinsip-prinsip hukum tata negara seperti "checks and balances", keadilan, dan transparansi.
Kekhawatiran Pakar Hukum terhadap RKUHAP
Sejumlah pakar hukum mengingatkan adanya potensi penyalahgunaan kekuasaan dalam implementasi RKUHAP. Prof. Dr. H. Muhammad Hadin Muhjad, S.H., M.Hum. menekankan pentingnya pengawasan ketat agar prinsip "checks and balances" benar-benar diterapkan, bukan sekadar formalitas belaka.
Sementara itu, Dr. Febby Mutiara Nelson, S.H., M.H., dan Dr. Septa Candra, S.H., M.H., mengkaji berbagai tantangan dan ancaman yang mungkin muncul jika prinsip fundamental dalam sistem peradilan pidana diabaikan. Mereka menekankan bahwa reformasi hukum harus tetap berlandaskan keadilan dan tidak memperlemah pengawasan antar-lembaga, Rabu, (26/02/2025).
Lima Tahapan Pembentukan RKUHAP
Sesuai dengan UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, RKUHAP melalui lima tahapan utama:
1. Perencanaan
- RUU tentang revisi KUHAP masuk dalam Prolegnas Prioritas 2025.
- Badan Keahlian (BK) DPR telah menyusun naskah akademik dan draf RUU pada 17 Februari 2025.
- KUHAP yang baru diperlukan untuk melengkapi penerapan KUHP Nasional dalam UU No. 1 Tahun 2023.
2. Penyusunan
- Ketua Komisi III DPR-RI menegaskan bahwa RUU KUHAP merupakan inisiatif DPR.
- Masyarakat dan institusi penegak hukum diundang untuk memberikan masukan terkait substansi RUU.
3. Pembahasan
- Komisi III DPR menargetkan pembahasan selesai dalam satu tahun.
- Partisipasi publik diutamakan, melibatkan advokat, akademisi, dan masyarakat sipil.
4. Pengesahan
- Setelah pembahasan, RUU disahkan melalui Rapat Paripurna DPR.
5. Pengundangan
- Setelah disahkan, Kementerian Hukum dan HAM akan mengundangkannya agar memiliki kekuatan hukum.
Lima Tantangan Implementasi RKUHAP
Menurut Dr. Febby Mutiara Nelson, revisi KUHAP merupakan momen penting untuk memperbaiki koordinasi antara penyidik dan penuntut umum. Ia menyoroti lima tantangan utama** yang perlu diwaspadai:
1. Pertanggungjawaban Pidana Korporasi
2. Putusan Pengampunan oleh Hakim (Judicial Pardon)
3. Prosedur Gugurnya Kewenangan Penuntutan
4. Hukum Acara untuk Tindak Pidana Adat
5. Penambahan Upaya Paksa
“Kita perlu memastikan bahwa RKUHAP menciptakan koordinasi yang efektif dan adil serta menghindari sentralisasi kewenangan yang bisa membuka peluang penyalahgunaan kekuasaan, ” ujar Dr. Febby.
Kritik terhadap Asas Dominus Litis
Dr. Septa Candra menyoroti potensi bahaya penerapan asas Dominus Litis dalam RKUHAP. Menurutnya, prinsip ini harus dikaji secara mendalam karena dapat bertentangan dengan prinsip diferensiasi fungsional, yang merupakan pilar utama sistem hukum pidana Indonesia.
“Penyidik dan penuntut umum memiliki fungsi yang berbeda namun saling terkait. Jika kewenangan penyidikan diberikan kepada penuntut umum, ini akan melanggar prinsip diferensiasi fungsional dan menghilangkan pengawasan antar-lembaga, ” tegasnya.
Ia juga mengingatkan bahwa konsentrasi kekuasaan dalam satu institusi dapat membuka peluang kriminalisasi hukum dan rekayasa kasus, yang pada akhirnya merusak prinsip keadilan substantif.
Reformasi Hukum: Kolaborasi, Bukan Sentralisasi
Para pakar hukum sepakat bahwa reformasi hukum pidana harus mengutamakan penguatan koordinasi antar-lembaga, bukan justru memusatkan kewenangan pada satu institusi. Mereka menegaskan bahwa RKUHAP harus menjadi instrumen untuk menyeimbangkan keadilan prosedural dan substantif guna menjaga hak asasi manusia.
Harapan terhadap RKUHAP
KUHAP yang baru diharapkan menjadi payung hukum (umbrella act) yang mendukung berbagai undang-undang sektoral dalam penegakan hukum. Prinsip-prinsip utama seperti keadilan, transparansi, supremasi hukum (rule of law), dan partisipasi publik harus menjadi dasar penyusunannya.
Dengan revisi ini, sistem peradilan pidana diharapkan semakin adil dan demokratis. Penyusunan RKUHAP harus melibatkan akademisi, praktisi hukum, dan masyarakat agar hukum acara pidana yang dihasilkan relevan dengan perkembangan zaman. (MIR)