OPINI - Kata Dinasti adalah kata lain dari kerajaan. Jadi kalau digabung kata politik dengan dinasti maka terjadilah suatu diksi dengan nama Politik Dinasti.
Politik Dinasti identifikasinya sangat sederhana, misalkan Bapaknya seorang raja, maka anaknya akan jadi putra mahkota yang akan secara langsung menggantikan bapaknya.
Pada situasi politik demokrasi, raja sudah berubah jadi Presiden, Ketua Partai, Gubernur, atau Bupati, dan Walikota.
Karena bapak atau ibunya presiden, ketua partai, gubernur, bupati, atau walikota, maka anaknya pun dengan menjadi calon presiden, calon legislatif, calon gubernur, calon bupati, atau calon walikota.
Baca juga:
Tony Rosyid: Anies Memang Beda
|
Apakah untuk menjadi calon itu salah? Tidak ada salahnya sama sekali, yang salah adalah cara mereka untuk dicalonkan.
Dari proses pencalonan ini telah memunculkan pertanyaan bagi rakyat dan masyarakat luas. Kalau orang tuanya bukan siapa-siapa, atau bukan penguasa, mungkinkah anak ini bisa dicalonkan. Atau pertanyaannya, jika bukan anak penguasa mungkinkan sebuah partai ini untuk mencalonkan mereka sebagai capres, caleg, cagub, cabup, atau cawako, atau bahkan mengangkatnya menjadi Ketua Umun Partai walau tanpa prosedur kepartaian yang lazim? Apakah selain anak dinasti ini para pengurus, dan para anggota partai tersebut selama ini tidak ada yang berkualitas dan punya kemampuan untuk memimpin partai tersebut?
Pertanyaan-pertanyaan masyarakat yang muncul karena diprovokasi oleh tindakan dan perilaku yang di luar nalar umum di sebuah negara yang katanya berazaskan demokrasi, dari rakyat untuk rakyat yang tidak tergambarkan sama sekali.
Para penjilat dan para penerima manfaat langsung akan bersikeras untuk membenarkan "Politik Dinasti' karena mereka tidak akan pernah memikirkan kepentingan bangsa dan negara, yang ada dalam otak mereka hanya mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya dari orang yang mereka dukung untuk menjadi raja atau penguasa.
Apakah politik dinasti sudah terjadi di Indonesia? Jawabnya bisa dengan sangat cepat sekali, 'Sudah'.
Kita bisa melihat dari situasi partai-partai yang berkuasa, presiden yang berkuasa, gubernur yang berkuasa, bupati atau walikota yang berkuasa. Ajukan pertanyaan, Apakah para caleg, atau anggota legislatif, ketua partai, menteri, dan lain sebagainya ada relasi dengan penguasa diatasnya atau penguasa sebelumnya.
Jika jawabannya 'iya' maka bisa dikatakan politik dinasti sedang terjadi, dimana seseorang yang sedang berkuasa sedang mengkader atau menggeser kekuasaannya baik secara halus maupun secara terang-terangan kepada anggota keluarganya.
Mengapa 'Politik Dinasti' ini terjadi? Tidak terlalu sulit untuk menjawabnya, karena mereka punya cukup kekuasaan, keuangan, dan koneksi (3K).
Dengan kekuasaan, keuangan, dan koneksi di segala lini mereka akan punya wibawa walaupun secara paksa kepada masyakat yang mayoritas pendidikan dan status ekonominya masih di bawah rata-rata.
Status ekonomi dan pendidikan yang di bawah rata-rata ini akan menjadi lahan yang sangat subur bagi para pelaku 'Politik Dinasti' ini. Kelimpahan keuangan dan keuasaan, serta koneksi di segala lini membuka peluang seluas-luasnya bagi mereka untuk mengkases masyarakat pemilih dengan uang, dan janji-janji melalui media yang mereka kuasai.
Uang yang mereka miliki bisa mengatasi kebutuhan hari ini walaupun itu harus dibayar masyarakat miskin tersebut untuk 5 tahun ke depan dengan kebijakan yang tidak berpihak sama sekali kepada mereka.
Dengan uang dan koneksi yang mereka miliki, mereka juga menguasai media untuk propaganda dengan janji-janji politik yang kelihatannya masuk akal, tapi belum tentu untuk mereka jalankan.
Dari dua hal tindakan yang mereka lakukan secara terstruktur, sistematis, dan masif (TSM) tersebut mereka menguasai masyarakat untuk memilih mereka kembali pada pemilu yang berlangsung setiap 5 tahun sekali.
Selain ke dua hal tersebut di atas, uang dan kekuasaan juga bisa mengendalikan hasil-hasil survei yang dipublikasikan di media-media mainstream dan semua media sosial sertan media abal-abal lainnya.
Masyarakat dibuat percaya dengan memakai mekanisme 'post truth' dimana suatu hal bila ditampilkan berulang-ulang dan berkali-kali, maka akan perlahan-lahan menjadi suatu kebenaran yang diyakini.
Walaupun data survei dan fakta di lapangan berbeda jauh, namun masyarakat yang terus dibanjiri dengan informasi yang belum tentu benar diharapkan menjadi militan untuk mendukung calon-calon dari para 'Dinasti Politik' ini.
Dinasti atau kerajaan, atau yang lebih sering kita dengar dengan sebutan feodalisme sudah lama dibubarkan atau bahkan dihancurkan di seluruh dunia, karena feodalisme telah mendorong seorang manusia biasa mengaku dirinya Tuhan, mereka menjadi firaun, mereka menjadi super power, semena-mena, membumkam yang melawan, merawat yang menjilat, menghukum yang meminta keadilan, melindungi yang memuji-muji.
Hal inilah yang sedang terjadi dan dipertontonkan sehari hari. Investasi lebih penting dari hak azasi, investasi telah menjadi Tuhan yang tidak bisa dibantah, rakyat harus digusur, dipindahkan, dan bahkan diusir secara paksa dengan cara apapun untuk mengambil tanah dan lahan mereka. Persis terjadi seperti zaman Kumpeni Belanda, Kumpenin yang punya investasi sebagai oligarki menguasai Indonesia selama 350 tahun karena dibantu oleh para Dinasti penghianat untuk menindas rakyat.
Inilah yang akan terjadi jika rakyat Indonesia masih belum terbagun dari tidur nyenyaknya yang dininabobokan oleh BLT, dan sembako politik yang datangnya hanya 5 tahun sekali, tapi menderita selama 5 tahun menanti.
Jakarta, 11 Oktober 2023
Awalan H Akhiran i
Orang Awam Mengamati Politik