Seminar Hukum, UM Palembang Bahas Reformasi Hukum Acara Pidana Menuju Keadilan yang Berkeadilan

    Seminar Hukum, UM Palembang Bahas Reformasi Hukum Acara Pidana Menuju Keadilan yang Berkeadilan

    PALEMBANGAN - Universitas Muhammadiyah (UM) Palembang menggelar seminar hukum bertajuk *"Reformasi Hukum Acara Pidana Menuju Keadilan yang Berkeadilan, yang berlangsung di Gedung Faqih Usman pada Selasa (25/2).  

    Seminar ini dihadiri oleh akademisi Fakultas Hukum dari berbagai perguruan tinggi di Palembang, mahasiswa hukum, praktisi hukum (advokat, polisi, penyidik), aktivis HAM, organisasi masyarakat sipil, serta pemangku kepentingan lainnya. Tiga narasumber utama dihadirkan dalam kegiatan ini, yaitu:  

    1. Dr. Saipudin Zahri, S.H., M.H. – Dosen Prodi Magister Hukum Pascasarjana UM Palembang dan Mantan Hakim Tipikor AdHoc 2015–2020.  
    2. Dr. Erli Salia, S.H., M.H. – Dosen Prodi Magister Hukum Pascasarjana UM Palembang dan Staf Ahli DPRD.  
    3. Dr. Suharyono, S.H., M.H. – Dosen Prodi Magister Hukum Pascasarjana UM Palembang dan Advokat.  

    Dalam sambutannya, Rektor UM Palembang, Prof. Dr. Abid Djazuli, S.E., M.M., menegaskan bahwa dalam suatu negara hukum (Rechtstaat), penerapan prinsip equality before the law sangat penting untuk menjamin keadilan bagi seluruh warga negara. Ia menyoroti bahwa penegakan hukum selalu menjadi isu dalam setiap pergantian pemerintahan, dan aparat kepolisian sebagai ujung tombak penerapan hukum acara pidana memiliki tanggung jawab besar dalam menciptakan sistem hukum yang adil dan berkeadilan.  

    "Semoga seminar ini menghasilkan rekomendasi konkret untuk membentuk regulasi yang lebih mencerminkan keadilan dalam hukum acara pidana, " ujar Prof. Abid.  

    Seminar Perdana untuk Menggali Potensi Akademisi 
    Wakil Rektor IV, Dr. Suroso, P.R., S.Ag., M.Pd.I., mengungkapkan bahwa ini merupakan kali pertama seminar hukum dengan tema reformasi hukum acara pidana diselenggarakan di UM Palembang. Seminar ini bertujuan menggali pemikiran akademisi terkait perkembangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) serta mencari solusi dalam implementasi hukum acara pidana yang lebih adil.  

    Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Sumatera Selatan, Ridwan Hayatuddin, menambahkan bahwa pembaruan KUHP menjadi isu penting yang harus dikaji secara mendalam. Menurutnya, seminar ini bukan sekadar formalitas, melainkan upaya menggali gagasan dan masukan dari berbagai pihak guna memastikan hukum yang lebih berpihak kepada keadilan substantif.  

    Sementara itu, Ketua Program Studi Magister Hukum Pascasarjana UM Palembang, Dr. Mulyadi Tanzili, S.H., M.H., yang mewakili tim penyusun rekomendasi seminar, menekankan urgensi reformasi KUHAP (Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana). KUHAP yang telah berusia lebih dari 40 tahun dinilai perlu diperbarui agar lebih sesuai dengan prinsip restorative justice dan penghormatan terhadap hak asasi manusia.  

    "Dari seminar ini, diharapkan muncul rekomendasi akademis dan praktis untuk pembaruan KUHAP, publikasi ilmiah, serta policy brief bagi pemerintah. Selain itu, seminar ini menjadi wadah diskusi dan jejaring antar-pemangku kepentingan hukum, " jelas Mulyadi.  

    Beberapa tema utama yang dibahas dalam seminar ini meliputi:  
    1. Kelemahan dan Tantangan KUHAP dalam Praktik Peradilan Modern
    2. Prinsip Fair Trial dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia 
    3. Restorative Justice sebagai Alternatif Penyelesaian Perkara Pidana  
    4. Peran Teknologi dalam Proses Hukum Acara Pidana  
    5. Pembaruan KUHAP: Antara Keadilan Substantif dan Prosedural  

    Rekomendasi Seminar untuk Reformasi Hukum Acara Pidana  
    Sebagai hasil diskusi, seminar ini menghasilkan sejumlah rekomendasi penting, di antaranya:  

    1. RUU KUHAP harus dipublikasikan secara luas dan mudah diakses oleh seluruh masyarakat. Hal ini penting karena revisi KUHAP tidak hanya berdampak pada aparat penegak hukum (polisi, jaksa, hakim, dan advokat), tetapi juga kepada masyarakat luas.  

    2. Penerapan prinsip check and balance harus diutamakan dalam sistem hukum acara pidana. Kewenangan penyelidikan dan penyidikan harus tetap menjadi ranah kepolisian, sedangkan fungsi penuntutan harus berada dalam independensi Kejaksaan.  

    3. Beberapa ketentuan dalam RUU KUHAP yang berpotensi melemahkan independensi penyidikan Polri perlu dikaji ulang. Pasal-pasal tertentu, seperti Pasal 38, Pasal 39, Pasal 40, dan lainnya, harus dievaluasi dengan melibatkan semua pihak terkait.  

    4. Penyidikan kepolisian harus tetap independen dengan prinsip otonomi terbatas. Penyusunan undang-undang tidak boleh bias atau dipengaruhi oleh stigma terhadap institusi tertentu, melainkan harus mengedepankan hak asasi manusia dan keadilan hukum.  

    5. Upaya pelemahan independensi penyidikan Polri melalui berbagai mekanisme harus dicegah.** Beberapa isu seperti kontrol berlebihan dari Kejaksaan terhadap penyidikan Polri perlu dikaji agar tidak menumpuk kekuasaan di satu institusi.  

    6. Penyidikan tindak pidana umum harus tetap menjadi kewenangan penuh Polri. Untuk tindak pidana khusus seperti korupsi, narkotika, dan pelanggaran HAM berat, penyidikan dapat dilakukan oleh Kejaksaan dengan tetap berkoordinasi dengan Polri.  

    7. Sentralisasi kewenangan penyidikan di tangan Kejaksaan harus dikaji ulang. Polri dan Kejaksaan harus berfungsi secara independen dan setara, tanpa dominasi satu institusi terhadap yang lain.  

    8. Kesalahan prosedural dalam penyidikan tidak seharusnya sepenuhnya dinilai oleh Kejaksaan. Sebaliknya, mekanisme pengawasan yang lebih adil dapat dilakukan oleh pengadilan melalui Hakim Pemeriksa Pendahuluan atau mekanisme praperadilan yang lebih baik.  

    9. Reformasi penyidikan Polri harus dilakukan dengan peningkatan SDM dan pengawasan independen. Alih-alih memberikan wewenang pengawasan kepada Kejaksaan, alternatif lain seperti pengawasan oleh Kompolnas atau lembaga independen lebih dianjurkan.  

    10. Revisi pasal-pasal dalam RUU KUHAP harus memastikan keseimbangan kewenangan antara penyidik dan penuntut. Sistem hukum acara pidana harus tetap menjamin prinsip check and balance, tanpa mereduksi kewenangan Polri dalam penyidikan.  

    11. Pembaruan KUHAP harus mempertahankan keseimbangan dalam penyelesaian tindak pidana. Kasus-kasus tertentu yang memenuhi syarat dapat diselesaikan melalui mekanisme restorative justice untuk mencapai keadilan yang lebih humanis.  

    “Rekomendasi dari seminar ini diharapkan menjadi masukan bagi DPR, pemerintah, dan organisasi masyarakat sipil dalam merumuskan pembaruan hukum acara pidana yang lebih adil, ” pungkas Dr. Mulyadi Tanzili.  

    Seminar ini menjadi ajang strategis dalam mendorong reformasi hukum acara pidana agar lebih adaptif terhadap kebutuhan masyarakat dan nilai-nilai keadilan yang sejati. (MIR)

    saipudin zahri erli salia suharyono abid djazuli suroso um palembang
    Updates.

    Updates.

    Artikel Sebelumnya

    Fungsi dan Wewenang DPR RI

    Artikel Berikutnya

    Raymond Chin: Indonesia Tidak Baik-baik...

    Berita terkait

    Rekomendasi

    PERS.CO.ID: Jaringan Media Jurnalis Independen
    Hendri Kampai: Jangan Mengaku Jurnalis Jika Tata Bahasa Anda Masih Berantakan
    Jelang Hari Raya Galungan, Babinsa Koramil Banjarangkan Gencarkan Komsos untuk Perkuat Kamtibmas di Tengah Masyarakat
    Komitmen Keberlanjutan KAI Logistik: Penguatan Moda KA, Digitalisasi, dan Aksi Hijau
    Jamur "Zombie" Pengendali Laba-laba Ditemukan di Reruntuhan Kastil Irlandia

    Ikuti Kami